Genosida di Gaza telah berlangsung satu tahun sejak dimulainya Operasi Topan al-Aqsha pada 7 Oktober 2023, namun dunia internasional, khususnya negara-negara mayoritas Muslim, belum menunjukkan tanda-tanda aksi kolektif yang signifikan untuk menghentikan kekejaman ini. Pengamat politik internasional, Dr. Hasbi Aswar, menilai bahwa belum ada mobilisasi kompak dari negara-negara Muslim untuk memperjuangkan kepentingan Islam secara efektif.
Dalam rubrik Fokus: Setahun Genosida Gaza yang disiarkan pada Ahad (6/10/2024) melalui kanal YouTube UIY Official, Hasbi menekankan bahwa tanggung jawab untuk menciptakan perubahan tidak sepenuhnya berada pada pemerintah, tetapi pada umat Islam itu sendiri. “Saya kira ini tugasnya di masyarakat, di umat Islam,” jelasnya. Menurutnya, legitimasi para pemimpin dunia Islam berasal dari umat, dan jika kesadaran politik umat meningkat, maka perubahan bisa terjadi.
Pentingnya Kesadaran Politik
Hasbi menggarisbawahi bahwa kesadaran politik umat Islam harus ditingkatkan. Dengan meningkatnya kesadaran ini, umat akan cenderung memilih pemimpin yang peduli terhadap Islam dan bersedia memperjuangkan kepentingan umat. “Ketika kesadaran politik umat Islam meningkat, dengan sendirinya umat itu akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang cinta kepada umat Islam,” tambahnya. Selain itu, ia juga menyoroti perlunya mengesampingkan persoalan perpecahan dalam masalah khilafiah agar fokus umat terarah pada isu-isu politik yang lebih strategis.
Kategori Pemimpin Dunia Islam
Hasbi mengidentifikasi empat kategori pemimpin negara Islam dalam merespons krisis Palestina:
- Progresif: Negara-negara yang secara aktif menyerang Zionisme, dengan Iran sebagai contoh utama. Iran, meskipun ada kritik, disebut sebagai negara yang paling berani karena secara langsung mendukung perlawanan terhadap Israel, termasuk dengan mengirimkan rudal.
- Pengutuk: Negara-negara yang hanya terbatas pada kecaman, seperti Indonesia. Meski Indonesia terus mengutuk aksi Israel, langkah konkret untuk membantu Palestina masih terbatas.
- Diam: Negara-negara yang memilih untuk tidak bersuara sama sekali mengenai konflik ini, seolah-olah tidak ingin terlibat.
- Mendukung Israel: Ada juga negara-negara yang secara langsung atau tidak langsung membantu Israel. Hasbi memberi contoh Yordania, yang meskipun mengklaim ingin menjaga stabilitas regional, terlihat justru membantu Israel dalam menghadapi serangan dari Iran. “Mereka lebih mengamankan negara mereka sendiri daripada membantu sesama Muslim,” tudingnya.
Politik yang Tersandera Kepentingan
Dalam analisisnya, Hasbi menjelaskan bahwa banyak negara Muslim saat ini tersandera oleh kepentingan global, terutama ketergantungan terhadap negara-negara besar seperti Amerika Serikat. Ketergantungan ini, baik secara militer maupun ekonomi, membuat negara-negara tersebut enggan untuk menentang Israel secara terbuka. “Mereka tidak berani karena mereka tersandera oleh kepentingan militer dan ekonomi,” katanya.
Hal ini sejalan dengan peringatan Nabi Muhammad SAW tentang hubbud dunya karahiyatul maut—cinta dunia dan takut mati—yang membuat umat Islam lebih mementingkan kepentingan nasional daripada kepentingan Islam. Menurut Hasbi, cinta dunia ini telah melumpuhkan keberanian negara-negara Muslim untuk berjuang bagi Palestina dan umat Islam secara keseluruhan. Kepentingan nasional menjadi prioritas tertinggi, sementara kepentingan Islam seringkali dianggap sekunder.
Tantangan dan Harapan
Pernyataan Dr. Hasbi Aswar mencerminkan kekecewaan yang mendalam terhadap kondisi politik negara-negara Islam saat ini. Lemahnya mobilisasi dan perpecahan yang dipicu oleh kepentingan nasional sempit menjadi tantangan besar dalam memperjuangkan keadilan bagi Palestina. Namun, harapan tetap ada jika kesadaran politik umat Islam terus meningkat dan mereka mulai menuntut pemimpin yang lebih loyal terhadap Islam dan bersedia untuk berjuang demi kepentingan umat di arena global.
Upaya untuk menghentikan genosida di Gaza memerlukan perubahan fundamental, bukan hanya dalam kepemimpinan, tetapi juga dalam bagaimana umat Islam memahami dan merespons tantangan global yang dihadapi.