Islam dan Etika Bisnis: Kepemilikan Bersama untuk Kesejahteraan Masyarakat

Dalam pandangan Islam, etika bisnis tidak hanya terbatas pada prinsip-prinsip keadilan dalam transaksi, tetapi juga mencakup tata kelola sumber daya yang adil dan merata. Salah satu prinsip penting yang diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah bahwa manusia berserikat dalam beberapa sumber daya vital yang dibutuhkan oleh masyarakat luas, seperti air, padang rumput, dan api. Hadis ini menegaskan bahwa ketiga sumber daya tersebut tidak boleh dimiliki secara individu, melainkan harus tetap menjadi milik bersama yang bisa diakses oleh seluruh anggota masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim.

Prinsip Berserikat dalam Sumber Daya

Imam as-Sarakhsyi, dalam kitab al-Mabsuth, menjelaskan bahwa hadis-hadis yang menyebutkan manusia berserikat dalam air, padang rumput, dan api, menekankan bahwa pemanfaatan ketiga sumber daya tersebut berlaku bagi semua orang tanpa pandang bulu. Tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi individu lain dari mengakses sumber daya ini, sama seperti tidak ada yang dapat melarang seseorang untuk menggunakan sinar matahari atau udara. Penafsiran ini menunjukkan bahwa prinsip kesetaraan dalam pemanfaatan sumber daya yang bersifat umum sangat fundamental dalam ajaran Islam.

Para ulama sepakat bahwa sumber daya alam seperti sungai, danau, laut, dan padang rumput yang tidak dimiliki oleh individu merupakan milik bersama. Namun, mereka berbeda pendapat tentang apakah sumber daya yang ditemukan di atas tanah milik pribadi, seperti sumur atau padang rumput yang ditanami seseorang di tanahnya, boleh dimiliki secara pribadi atau tetap harus dianggap sebagai milik bersama. Dalam hal ini, Ash-Shan’ani al-Amir dalam Subul as-Salam menekankan bahwa perbedaan pendapat muncul karena adanya perbedaan dalam kebutuhan manusia terhadap sumber daya tersebut dan toleransi dalam penggunaannya.

Perserikatan karena Kepentingan Umum

Menariknya, perserikatan dalam hadis ini bukan karena zat dari air, padang rumput, atau api itu sendiri, melainkan karena sifatnya sebagai sumber daya yang dibutuhkan oleh banyak orang. Hal ini berarti, sumber daya tersebut diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara bersama-sama dan jika tidak dikelola dengan baik, bisa memicu konflik atau ketidakadilan dalam penggunaannya.

Sebagai contoh, Rasulullah SAW memperbolehkan kepemilikan sumur di Thaif dan Khaibar oleh individu untuk menyirami kebun. Ini menunjukkan bahwa meskipun air termasuk dalam salah satu sumber daya yang disebutkan dalam hadis, pemanfaatannya dalam konteks tertentu dapat diserahkan kepada individu, selama tidak mengganggu kepentingan umum. Jadi, berserikatnya manusia dalam tiga sumber daya ini bukanlah karena substansi fisiknya, tetapi karena sifatnya sebagai fasilitas umum yang jika tidak tersedia, dapat menimbulkan kesulitan bagi masyarakat.

Relevansi Prinsip ini dalam Bisnis dan Ekonomi Modern

Konsep kepemilikan bersama dalam Islam sangat relevan dalam konteks bisnis dan ekonomi modern, terutama ketika kita berbicara tentang pengelolaan sumber daya publik dan infrastruktur. Air, tanah, dan energi merupakan aset yang sangat berharga bagi kesejahteraan masyarakat luas, dan dalam Islam, penggunaannya harus diatur sedemikian rupa agar dapat dinikmati oleh semua orang secara adil. Negara berperan penting dalam memastikan distribusi sumber daya ini, mengatur pemanfaatan sumber daya publik agar semua anggota masyarakat, termasuk yang paling rentan, dapat mengakses dan memanfaatkannya.

Kaedah ushul fiqh, “al-hukm yadûru ma’a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman” yang berarti bahwa hukum ada dan tidaknya mengikuti illat (alasan) yang mendasarinya, mendukung prinsip ini. Sumber daya apa saja yang memiliki sifat sebagai fasilitas umum yang sangat diperlukan oleh komunitas, seperti air, energi, dan tanah, harus diperlakukan sebagai milik bersama. Pemerintah dan pelaku bisnis harus memahami dan menerapkan konsep ini dalam pengelolaan sumber daya alam agar tidak terjadi monopoli atau eksploitasi yang merugikan masyarakat luas.

Islam dan Kesejahteraan Masyarakat

Etika bisnis dalam Islam mengajarkan bahwa sumber daya yang vital untuk kehidupan manusia tidak boleh dimonopoli oleh sekelompok kecil individu atau perusahaan. Sebaliknya, sumber daya ini harus dikelola untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks bisnis, hal ini berarti perusahaan dan pemerintah harus bertanggung jawab dalam memastikan bahwa pengelolaan sumber daya tidak hanya berorientasi pada keuntungan pribadi, tetapi juga pada pemenuhan kebutuhan masyarakat luas.

Islam memandang bahwa kesejahteraan masyarakat adalah prioritas utama dalam setiap aktivitas bisnis dan ekonomi. Dengan memastikan akses yang adil terhadap sumber daya bersama, masyarakat dapat hidup lebih sejahtera, tanpa ada yang dirugikan atau terpinggirkan.

Penutup

Prinsip berserikat dalam kepemilikan sumber daya seperti air, padang rumput, dan api yang diajarkan oleh Rasulullah SAW menegaskan pentingnya keadilan dalam pengelolaan sumber daya vital. Islam mengajarkan bahwa kesejahteraan masyarakat harus selalu menjadi pertimbangan utama dalam bisnis dan pengelolaan ekonomi. Negara dan individu, termasuk pelaku bisnis, harus memastikan bahwa sumber daya yang dibutuhkan bersama tetap dapat diakses oleh semua orang, demi terciptanya kesejahteraan yang merata dan adil di tengah masyarakat.

(Visited 6 times, 1 visits today)

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *