Satu tahun berlalu sejak Operasi Topan al-Aqsha yang dimulai pada 7 Oktober 2023, namun penderitaan warga Gaza terus berlangsung. Cendekiawan Muslim, Ustadz Ismail Yusanto (UIY), dalam sebuah diskusi bertajuk Satu Tahun Genosida Gaza, Bagaimana Menghentikannya, mengungkapkan bahwa agresi Israel terhadap Gaza bukan hanya bentuk pembalasan atas aksi Hamas pada 2023, melainkan kejahatan besar yang dilandasi oleh ambisi lama Zionisme untuk mendirikan “Israel Raya.”
UIY menyoroti bahwa dunia sering kali berbicara tentang perdamaian, namun ketika kejahatan dan ketidakadilan terjadi, seperti yang dialami Gaza, dunia memilih diam. “Ini ironi besar,” katanya, terutama ketika banyak pemimpin di kawasan Timur Tengah tahu bahwa di balik Israel ada dukungan kuat Amerika Serikat (AS), yang tidak segan-segan melindungi negara sekutunya itu. Menurutnya, kejahatan Israel adalah cerminan dari wajah kejahatan AS, yang secara aktif melindungi dan mendukung tindakan agresi.
Mitos Kekuatan Israel
Dalam pandangannya, mitos tentang kekuatan Israel yang sering digaungkan hanyalah propaganda untuk menakuti musuh-musuhnya. UIY menunjukkan bahwa pertahanan canggih Israel, seperti Iron Dome, ternyata tidak mampu sepenuhnya melindungi Tel Aviv dari serangan roket. “Faktanya, banyak tentara Israel mengalami stres berat hingga gangguan mental, sementara jutaan warganya memilih melarikan diri ke luar negeri untuk menghindari konflik,” jelas UIY. Hal ini menurutnya menunjukkan bahwa kekuatan Israel sesungguhnya rapuh, sementara perlawanan Palestina terus bertahan meski sudah berlangsung lebih dari setahun.
Nasionalisme Menghambat Persatuan Umat
UIY juga mengkritik pandangan nasionalisme yang dianggapnya telah memecah belah umat Islam. Umat di berbagai negara sering kali memandang konflik Palestina-Israel sebagai persoalan internal Palestina, bukan sebagai tanggung jawab bersama umat Islam. Negara-negara seperti Mesir, Lebanon, dan Suriah merasa cukup setelah berhasil merebut kembali wilayah mereka sendiri dari Israel, dan tidak lagi peduli dengan nasib Palestina. “Pandangan nasionalistis inilah yang membuat umat terpecah-belah,” tegasnya.
Perspektif Islam dalam Isu Palestina
UIY menggarisbawahi bahwa masalah Palestina tidak bisa dipisahkan dari agama. Menurutnya, setiap kali membicarakan Palestina, umat Islam harus mengaitkannya dengan Masjidilaqsa, tempat yang sangat sakral dalam peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW. “Konyol jika ada yang mengatakan bahwa Palestina bukan persoalan agama,” ujarnya. Dalam pandangannya, kegagalan umat Islam dalam memahami Palestina sebagai isu agama adalah kekalahan besar. Oleh karena itu, penyelesaian konflik ini, menurut UIY, harus dilakukan dengan semangat agama, yakni melalui jihad.
Ia menutup dengan menekankan bahwa musuh-musuh Islam selalu berupaya menjauhkan umat dari agamanya. Jika umat melepaskan pegangan mereka pada agama, maka mereka akan menjadi lemah dan mudah dikalahkan. “Umat harus berpegang teguh pada agama untuk mendapatkan kembali kekuatan dan semangat perjuangan,” tutupnya.
Refleksi dan Tindakan Umat
Pernyataan UIY mengajak umat Islam untuk merenungkan kembali posisinya dalam menghadapi konflik ini. Persatuan umat, penolakan terhadap mitos kekuatan Israel, serta kembalinya semangat jihad dalam konteks agama menjadi kunci dalam upaya membebaskan Palestina dari belenggu penjajahan dan kekerasan yang berkepanjangan